img_title
Foto : Youtube.com/CURHAT BANG Denny Sumargo

Jakarta Jaksa Shandy Handika akhirnya muncul ke publik usai film dokumenter yang membahas kasus kopi sianida Jessica Wongso kembali ramai dan disorot publik.

Secara blak-blakan, Shandy mengaku film yang ditayangkan Netflix itu tidak sesuai ekspektasinya. Mengapa? Yuk intip artikelnya!

Merasa Tidak Sesuai

Youtube.com/CURHAT BANG Denny Sumargo
Foto : Youtube.com/CURHAT BANG Denny Sumargo

Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus Jessica Wongso, Shandy Handika mengaku bahwa diwawancari Netflix sekitar 2 tahun lalu. Namun, ia merasa apa yang dimintakan padanya dengan apa yang ditangkan tidak sesuai harapan.

"Film keluar, sesuai enggak dengan ekspektasi?” tanya Denny Sumargo di podcast terbarunya yang diunggah Selasa, 10 Oktober 2023.

"Sebenarnya tidak. Karena yang kami bayangkan adalah gambaran mengenai seputar persidangan. Karena itulah yang ditawarkan oleh Netflix. Bukan materinya," jawab Shandy Handika.

Menurut Shandy, apa yang disampaikan pihak Jessica di film dokumenter sudah masuk ke materi persidangan yang sebenarnya sudah selesai sejak vonis hakim dijatuhkan.

"Tapi ternyata saat film dokumenter ini muncul, ini ternyata pihak penasehat hukum masuk ke materi perkara. Dan itu menggali lagi sesuatu yang sudah menjadi analisa dan perdebatan di 2016. Kami menghindari itu tapi pihak penasehat hukum masih membahas kejanggalan,” katanya lagi.

Tidak Perlu Diperdebatkan Lagi

Youtube.com/CURHAT BANG Denny Sumargo
Foto : Youtube.com/CURHAT BANG Denny Sumargo

Selain jaksa, Edward Omar Sharif Hiarej juga dihadirkan dalam podcast Denny tersebut. Edward saat itu menjadi salah satu saksi ahli hukum pidana dalam kasus kopi sianida.

Sepakat dengan Shandy, Edward menilai seharusnya kasus ini tak perlu lagi diperdebatkan. Sebab keputusan Hakim harusnya dihargai.

"Seharusnya kalau orang paham hukum, film dokumenter seperti itu tidak lagi membahas kejanggalan. Karena kita di Fakultas Hukum diajarkan putusan pengadilan itu harus dianggap benar dan dihormati. Jadi sudah tidak ada lagi perdebatan. Apalagi kasus itu sudah diuji empat kali," ungkap Wakil Menteri Hukum dan HAM itu.

"Lima kali bang, PK (pengajuan kembali) dua kali," timpal Shandy.

"Oh lima kali. Jadi Pengadilan Negeri diputus 20 tahun, Pengadilan Tinggi 20 tahun, Mahkamah Agung 20 tahun, PK juga 20 tahun. Berarti tidak ada pendapat hakim yang berbeda, sudah diputus 15 hakim," imbuh Prof Edward. (by)

Topik Terkait