IntipSeleb – Hayo siapa yang suka mencicipi masakan saat puasa? Kebanyakan orang terbiasa mencicipi makanan yang sedang dimasak untuk buka puasa demi memastikan rasa masakannya tidak keasinan dan tetap lezat ketika disantap nanti.
Tapi, pernah nggak sih kamu kepikiran apa hukumnya mencicipi masakan saat puasa? Terkait hal ini, ada beberapa pendapat ulama yang perlu kamu ketahui.
Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa ketika kita berpuasa, maka kita dilarang untuk makan dan minum dari mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari yang ditandai dengan adzan maghrib.
Lantas muncul pertanyaan, bagaimana jika makanan yang dicicipi hanya sampai ujung lidah saja sebatas untuk memastikan rasanya dan tidak ditelan sama sekali? Penasaran seperti apa penjelasan hukumnya dalam ilmu Fiqih? Yuk simak penjelasan Mamah Dedeh berikut ini!
Hukum Mencicipi Masakan Saat Puasa Menurut Imam Hambali
Menilik dari penjelasan di kanal YouTube Curhat Mamah Dedeh, disebutkan bahwa ketika kita memasukkan makanan atau minuman ke dalam mulut dalam keadaan lupa, maka puasa kita masih bisa dilanjutkan dengan catatan harus memuntahkannya lantas berkumur hingga bersih.
“Kalau kita sedang berpuasa kita makan, batal. Kalau kita sedang berpuasa kita minum, batal. Kalau di mulut ada makanan ada minuman, kita ingat lagi berpuasa, yang di mulut keluarkan, kumur-kumur, keluarkan, lanjutkan puasanya,” jelas Mamah Dedeh.
“Tapi kalau di mulut ada makanan, di mulut ada minuman, Anda ingat lagi puasa, yang di mulut Anda telan, itu batal,” sambungnya.
Lantas, bagaimana jika seseorang tengah memasak untuk buka puasa? Bolehkah mencicipi masakan saat puasa? Mamah Dedeh menyampaikan pendapat Imam Hambali terkait hal ini. Hukum mencicipi masakan saat puasa adalah makruh.
Lebih lanjut, Mamah Dedeh memberikan perumpamaan pahala puasa ketika seseorang mencicipi makanan dengan sebuah baju putih yang dicuci dengan air keruh. Artinya, pahala puasa yang terganggu oleh hal-hal makruh semacam itu tidaklah murni.
“Yang namanya terasa itu membuat puasa kita batal. Imam Hambali mengatakan hukumnya makruh. Tahu apa itu makruh? Baju putih di cuci di air yang airnya keruh kemudian dijemur dan kering, bajunya kembali putih atau tidak?” ujar Mamah Dedeh.
Mamah Dedeh juga menjelaskan perkataan Nabi Muhammad SAW dalam hadits terkait hukum mencicipi masakan saat puasa lengkap dengan konteksnya pada zaman lampau yang ia anggap tak relevan dengan kondisi saat ini yang serba modern.
“Kalau Anda berpuasa pahalanya mau putih bersih atau keruh? Kalau mau pahalanya putih bersih, jangan suka jadi penjilat. Walaupun Rasul mengatakan dalam hadis ‘kalau ada orang sedang berpuasa, tidak ada salahnya kalau dia mencicipi cuka atau sesuatu’. Maksudnya apa? Manusia zaman dahulu kala biasanya kalau nyuapin anaknya itu dicicipin dulu sama ibunya baru dikasih ke anaknya. Rasul mengatakan kalau memang tidak ada jalan lain kecuali dengan cara itu maka tidak batal puasanya, selama dia menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan,” Mamah Dedeh memaparkan.
“Kan setiap hari masak, sudah tahu sayur sepanci ini garamnya seberapa, gulanya seberapa, mecinnya seberapa, InsyaAllah pas. Daripada nilai puasa kita makruh, nggak putih bersih,” lanjutnya.
Dalam kesimpulannya, Mamah Dedeh menyampaikan bahwa pendapat ulama dalam hal ini terbagi ke dalam dua hal, yaitu yang memperbolehkan dan yang menganjurkan untuk menghindarinya karena hukumnya makruh.
“Jadi, sebagian ulama mengatakan tidak batal, sebagian ulama mengatakan memang tidak batal tapi makruh. Saran saya, kenapa tidak menjaga puasa kita saja lebih baik, kan belum tentu tahun depan masih puasa. Silakan Anda mau ambil yang mana, kalau saya lebih baik tidak usah dicicipi, lebih aman,” kata Mamah Dedeh.
Hukum Mencicipi Masakan Saat Puasa Menurut Imam Syafi’i
Sementara itu, melansir dari laman resmi Kementerian Agama Republik Indonesia, hal yang membatalkan puasa adalah ketika masuknya benda ke dalam rongga perut, kecuali bila seseorang dalam keadaan lupa, tidak tahu, dipaksa, atau sesuatu yang sulit dipisahkan dari air liur.
Hal tersebut dikemukakan oleh Syekh Salim bin Sumair dalam kitab Safinatun Najah seperti berikut ini.
الذي لا يفطر مما يصل إلى الجوف سبعة أفراد ما يصل إلى الجوف بنسيان أو جهل أو إكراه وبجريان ريق بما بين أسنان وقد عجز عن مجه لعذره
Artinya: Yang tidak membatalkan puasa di antara yang masuk ke dalam rongga perut ada tujuh poin. (Pertama, kedua, dan ketiga) sesuatu yang masuk ke dalam perut orang yang berpuasa karena lupa, tidak tahu, dan dipaksa; (keempat) sesuatu yang masuk perutnya berupa aliran air liur bersamaan dengan sesuatu yang ada di antara sela-sela gigi, sementara ia tidak mampu memisahkannya di antara antara liur tersebut karena sulit. (Lihat: Salim bin Sumair, Matan Safinatun Najah, Cetakan Darul Ihya, halaman 114).
Mayoritas ulama Syafi’i berpendapat masuknya sisa-sisa makanan yang sedikit dan sulit dipisahkan dari mulut tidak membatalkan puasa. Demikian juga rasa makanan yang tersisa dari bekas cicipan masakan tidak sampai membatalkan puasa karena tidak adanya wujud benda yang masuk pada rongga.
أَمَّا مُجَرَّدُ الطَّعْمِ الْبَاقِي مِنْ أَثَرِ الطَّعَامِ فَلَا أَثَرَ لَهُ لِانْتِفَاءِ وُصُولِ الْعَيْنِ إلَى جَوْفِهِ
Artinya: Adapun hanya sekadar rasa makanan yang tersisa dari bekas makanan, maka tidak ada pengaruhnya bagi pembatalan puasa karena tidak ada wujud benda yang masuk dalam rongga. (Lihat: Hasyiyah al-Bujairimi, juz I, halaman 249).
Kesimpulan ini diambil para ulama Syafi'i berdasarkan qaul Ibnu Abbas yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: لا بَأْسَ أنْ يَذُوقَ الخَلَّ أوِ الشَّيْءَ، ما لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وهُوَ صائِمٌ
Artinya: Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata, tidak masalah apabila seseorang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak masuk kerongkongan/memakan. (Musannaf Ibn Abi Syaibah, juz 2, halaman: 304)
Dengan demikian, mencicipi makanan tidak membatalkan puasa, selama yang dicicipinya sedikit, tidak ada wujud makanan yang masuk ke dalam rongga, kemudian rasa makanan yang terasa diludah dan masih mungkin dibuang atau dikeluarkan.
Namun, perlu diperhatikan bahwa mencicipi makanan bagi orang yang tidak ada kebutuhan hukumnya makruh. Sementara orang yang membutuhkan, seperti juru masak, hukum mencicipi makanan saat sedang puasa tidaklah makruh.
Hal ini bisa dilihat dalam fatwa asy-Syarqawi dalam kitabnya Hasyiyatusy Syarqawi 'ala Tuhfatith Thullab:
وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي
Artinya: Di antara sejumlah makruh dalam berpuasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan mengantarkannya sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir terlanjur tertelan masuk, lantaran sangat dominannya syahwat (untuk makan). Kemakruhan itu sebenarnya terletak pada tidak adanya hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan itu. Beda hukumnya bila tukang masak dan orang yang masak untuk menyuapi anak kecilnya yang sedang sakit, maka mencicipi makanan tidaklah makruh. Demikian penuturan Az-Zayadi."