“Trigger-nya saat itu kalau nggak salah karena memang lebih kenal banyak hal di sekeliling kita. Aku sering nongkrong sama temen-temenku di deket masjid Al-Fajru, tapi Minggunya aku Sekolah Minggu di gereja Santo Antonius Purbayan. Karena kita tuh toleransinya tinggi, kita tuh kayak memahami satu sama lain,” sambungnya.
Takut Ayah Sulit Masuk Surga
Selain itu, keinginan untuk mualaf juga muncul lantaran sebuha artikel yang menyebutkan bahwa seorang ayah muslim cenderung sulit masuk surga jika anaknya tidak beragama Islam. hal tersebut membuatnya teringat akan semua pengorbanan sang ayah untuknya selama ini.
“Saat itu pikiranku, aku 22 tahun sudah Katholik nemenin mamaku, kan aku tunggal, gantian ah. Aku baca sebuah artikel broadcast katanya kalau anak nggak muslim, bapak itu sulit untuk masuk surga, terus kepikiran kasihan bapakku sudah berkorban sejauh ini,” kata dr. Tirta.
Setelah berkonsultasi dengan pemuka agama Islam, ia pun akhirnya mantap untuk masuk Islam dan segera melakukan syahadat.
“Aku berpikir, konsul-lah sama Kyai-kyai kan, ketemu Kyai Zum itu masjid, mualaf itu langsung sorenya. Dan pada saat itu aku bilangnya biar adil aja. Separuh kehidupanku di Katholik, separuh kehidupanku di Islam,” pungkas dokter Tirta. (bbi)