Sementara itu dikisahkan jika Windy tidak rela melihat bisnis tinju Macan Arena milik ayahnya, Bardja, terancam gulung tikar dan diambil alih oleh pengembang mall.
Baginya, Macan Arena bukan sekadar sasana tinju biasa. Di tempat itu, kenangan indah bersama sang ayah dan aroma keringat para petinju bercampur menjadi satu, menciptakan atmosfer yang tak tergantikan.
Ayahnya telah berjuang sekuat tenaga untuk menyelamatkan Macan Arena, namun kenyataan berkata lain. Tekanan finansial yang kian berat membuat Bardja hampir putus asa.
Melihat tekad sang ayah yang mulai goyah, Windy tidak tinggal diam dan memberanikan diri untuk mengambil langkah yang tak terduga, yakni menjadi petinju profesional.
Keputusan Windy ini tentu saja menuai penolakan dari Bardja. Ia tak ingin putrinya terluka di atas ring. Namun, Windy bersikeras. Dia yakin bahwa dengan menjadi petinju, dan bisa menarik perhatian publik dan menyelamatkan Macan Arena.
Di tengah perjuangannya, Windy juga dihadapkan dengan dilema cinta segitiga. Dirga, sahabatnya sejak kecil, selalu setia mendampinginya. Namun, munculnya Rudy Cadel, petinju muda berbakat, membawa warna baru dalam kehidupan Windy.