Foto : Istimewa

IntipSelebFestival Film Wartawan Indonesia (FFWI) kembali mengadakan dialog berjudul 'Penggunaan Bahasa Daerah dalam Film Indonesia'. Dalam diskusi ini turut dihadiri oleh sejumlah pembicara diantaranya ada Bayu Skak dan Susi Ivvaty.

Seperti apa pembahasan yang disampaikan dalam diskusi ini? Yuk intip di bawah ini.

Bahasa Daerah di Film

Foto : instagram/moektito

Bayu Skak secara menyampaikan jika adat dan bahasa jangan sampai hilang dalam dunia film. Meskipun perkembangan teknologi yang semakin pesat sekarang. Sebab, kemajuan ini bisa mengikis sisi kedaerahan, termasuk dalam soal bahasa.

“Jika kedaerahan kita terkikis, kita akan menjadi manusia yang lupa pada akar budaya,” ujar Bayu Skak.

Bayu merasakan betul bagaimana dirinya berjuang keras untuk menawarkan film miliknya yang menggunakan bahasa daerah. Dia mengakui mendapatkan penolakan beberapa kali dari berbagai rumah produksi.

Pria asal Malang, Jawa Timur ini akhirnya bertemu produser Starvision Chand Parwez yang tertarik dengan cerita itu. Namun ragu dengan penggunaan Bahasa Jawa.

“Kalau film berbahasa Jawa ini tidak bisa meraih penonton sampai 500 ribu, honor saya tidak usah dibayar!” ungkapnya kala itu.

Bayu mengaku bangga dan sangat percaya diri untuk memproduksi film berbahasa daerah. Ini bukan semata-mata karena Yowis Ben telah berhasil meraih jumlah penonton sampai ratusan ribu. Namun, film berbahasa daerah bisa ikut melestarikan penggunaan bahasa daerah.

“Saya bersyukur masih bisa berbahasa Jawa halus. Anak- anak generasi Z sekarang ini berbahasa Jawa dicampur dengan bahasa Indonesia,” kata Bayu.

Pelestarian Bahasa Daerah

Foto : Istimewa


Selain Bayu Skak hadir juga Susi Ivvaty mantan wartawan harian Kompas, peliput bidang seni dan film yang kini aktif di Tradisi Lisan dan Lesbumi—Lembaga Seni dan Budaya di bawah naungan ormas Nahdatul Ulama (NU).

Susi menemukan film memegang peranan strategis dalam upaya pelestarian bahasa daerah. Dia mencontohkan beberapa film seperti 'Siti' dan 'Turah' yang menggunakan bahasa daerah Jawa, lalu ada film 'Uang Panai' yang menggunakan bahasa Makasar dan juga film 'Yuni' yang mengangkat cerita tradisi masyarakat Serang Banten.

“Di sinilah kita lihat bahasa itu menjadi keutamaan rasa, bahasa budaya dan dalam bahasa daerah itu kuat sekali,” ucap Susi.

Film, kata Susi, perlu memanfaatkan bahasa daerah jika cerita yang diangkat beratar belakang adat dan budaya suata daerah tertentu. “Karena feelnya ada di dalam bahasa itu,” jelasnya.

Sementara itu, Edi Suwardi, Kapokja Apresiasi dan Literasi Film mewakili Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, dalam sambutan mengakui kini semakin banyak film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah.

Menurut dia, hal ini antara lain berkat upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menggalakkan penggunaan bahasa daerah di berbagai media pandang dengar. Kementerian juga telah mendanai produksi film yang menggunakan bahasa daerah.

Alasan lain meningkatnya penggunaan bahasa daerah dalam film Indonesia, tambah Edu,maraknya era digital. Sekarang jauh lebih mudah memproduksi dan mendistribusikan film, dan hal ini menyebabkan pembuatan film menjadi lebih beragam. Termasuk film-film yang menggunakan bahasa daerah.

“Film-film berbahasa daerah ini, hebatnya sukses baik secara kritik maupun komersial, dan membantu meningkatkan kesadaran akan penggunaan bahasa daerah dalam film-film Indonesia. Karenanya ke depannya mungkin akan lebih banyak lagi film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah,” kata Edi.

Topik Terkait