Sejarah Kota Tua berawal pada abad ke 15 tepatnya tahun 1526 saat Fatahillah melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Hindu Pajajaran. Penyerangan tersebut terjadi tepat di Pelabuhan Sunda Kelapa atas perintah dari Kesultanan Demak.
Wilayah ini memiliki luas 15 hektare, dengan tata ruang mengadopsi kebudayaan Jawa. Selanjutnya, wilayah ini diberi nama Jayakarta, bahkan diklaim menjadi cikal bakal kota terbesar di Indonesia ini.
Tahun 1635 kota Batavia mengalami perluasan hingga ke bagian barat dari sungai Ciliwung. Dengan arsitektur bergaya Belanda dilengkapi dengan Benteng Kasteel khas Batavia, kanal dan dinding kota, Batavia semakin memukau saat itu.
Abad ke 16 tepat pada tahun 1619, menjadi target VOC dibawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen. Beberapa waktu kemudian tepatnya pada tahun 1620 Jayakarta resmi berganti nama menjadi Batavia. Nama tersebut diberikan guna menghormati leluhur bangsa Belanda yang bernama Batavieren.
Kota Batavia berpusat di sebelah timur Sungai Cilwung yang saat ini dikenal dengan Lapangan Fatahillah. Batavia memiliki penduduk lokalnya yang sampai sekarang masih eksis yaitu suku Betawi, yang dulunya disebut sebagai Batavianen. Betawi berasal dari berbagai etnis khususnya etnis kreol yang menghuni pemukiman Batavia kala itu.
Pada awalnya maksud kedatangan para saudagar ini adalah menukar rempah-rempah, namun ternyata berubah menjadi pengalihan kekuasaan saat hubungan kurang baik terjadi antara Belanda dengan Jayawikarta.
Kemenangan Demak yang kemudian mengubah nama menjadi Jayakarta kemudian memasuki ranah baru yaitu menjadi bagian dari Kesultanan Banten. Dibawah kekuasaan Kasultanan Banten Jayakarta menjadi kota tujuan para saudagar dari Belanda khususnya yang berada dibawah pimpinan Cournelis de Houtman.
Pada awalnya lokasi ini dikenal sebagai dermaga Sunda dengan letaknya yang sangat strategis serta makmur. Apalagi di dermaga ini merupakan tempat yang sangat tepat untuk penjualan rempah-rempah khas Sunda yang memang masyarakatnya bekerja sebagai petani rempah.
Pada abad ke 14 pelabuhan ini dianggap sebagai pelabuhan penting bagi beberapa kerajaan di nusantara. Bahkan terdengar bahwa bangsa Portugis ingin menguasai wilayah ini, hingga hal tersebut didengar oleh Kerajaan Demak yang mengirimkan Fatahillah mencegah kekuasaan Portugis saat itu.